HABIB MUHAMMAD BIN HUSIN AL IDRUS ( HABIB NEON SURABAYA )
Habib “NEON” ???? , Saya penasaran kenapa Julukan seorang Ulama termasyhur disurabaya , seorang Ahli Bait min Zurriyati Rosulillah saw digelari dengan “Neon”. Setahu saya Neon itu bahasa Jadul ( jaman dulu) adalah lampu listrik berbentuk tabung yang berisi gas Neon, Apa dulu Ulama tersebut seorang pengusaha lampu listrik Neon?? , berangkat dari penasaran saya coba cari cari sumber Referensi Kenapa Habib Muhammad yang bermarga Al idrus diberi gelar dengan Habib Neon ???
Dan ternyata Ada cerita menarik yang perna saya dengar bahwa suatu hari di Masjid Surabaya di gelar Majlis ta’lim yang diadakan rutin setelah ba”da isya , puluhan orang memadati masjid untuk mengikuti dan mendengarkan tausiah dari seorang ulama , tiba tiba listrik padam serentak jamaah berhamburan keluar ruangan masjid karena gelap gulita, nampak dari kejauhan seseorang menghampiri menuju masjid dengan menggunakan Gamis khas Yaman dan dipundaknya terlilit sorban berwarna hijau dan tak lain beliau adalah Habib Muhammad bin Husein Al idrus , tiba tiba saat beliau memasuki masjid ruangan masjid yang semula gelap menjadi terang terlihat pancaran cahaya dari tubuh Habib Muhammad bin husein al idrus, semua jamaah dibuat terperanjat menyaksikan kejadian tersebut. Tubuh Habib Muhammad dapat memancarkan cahaya seperti Neon ( lampu listrik) . Sejak saat itu Habib Muhammad dikenal dan dijuluki sebagai Habib Neon karena tubuhnya dapat memancarkan cahaya.
Ulama Surabaya kelahiran Tarim Yaman tahun 1898 M , merupakan sosok ulama min auliyaillah yang menjadi panutan dan tempat Curhat para warga masyarakat baik di Surabaya maupun dari berbagai daerah di tanah air. Sejak kecil mendapat tempaan ilmu dari Ayahandanya Habib Husein bin Zainal Abidin Al idrus yang memang seorang ulama dan arif billah , Marga beliau Alidrus yang artinya ketua orang-orang tashauf dan kebanyakan Ulama yang bermarga Alidrus ahli tashauf sebut saja Shohibul Ratib Al imam Habib Abdulloh bin Abu bakar Al idrus dan Shohibul Luar batang Habib Husein bin bi bakar Al Idrus juga seorang Ahli Thasauf. Begitupula dengan Habib Muhammad bin Husein Al Idrus sosok ulama Surabaya yang Ahli Thasauf. Beliau gemar berpuasa karena menurutnya Sumber dari Nafsu adalah perut yang terlalu kenyang dan berlebihan , beliau melakukan Mujahadah berpuasa sepanjang tahun dan makan sahur serta berbuka puasa hanya dengan 7 butir korma itu semua beliau lakukan semata mata agar merasa dekat dengan Alloh dan mengikuti cara cara ibadah para ulama ulama salapus sholeh .
Habib Muhammad bin husein ali drus terkenal sebagai sosok ulama yang tawadhu’ dan sangat memuliakan tamu yang berkunjung kerumahnya dan selalu menghadiri setiap kali beliau diundang terutama oleh fakir miskin. Setiap tamu yang berkunjung dan bertemu Habib Muhammad bin husein al idrus merasa sangat senang akan keramahan beliau dan bahkan sepertinya Habib Muhammad sudah tahu lebih dahulu apa yang akan diungkapkan sang tamu ini merupakan Karunia Alloh yang telah diberikan kepada Ulama min awliyaillah Habib Muhammad bin Husein al Idrus . Beliau juga sangat memuliakan para ulama ulama bahkan beliau pernah pergi berbulan bulan sekedar untuk untuk silahturahim dengan para ulama mengambil Tabaruk seperti ke Palembang, pekalongan , Tuban dan lain lain. Prilaku marga al idrus yang mengalir dalam darahnya menjadikan beliau memiliki maqom yang tinggi ahli dalam Ma’rifatulloh. Beliau tidak banyak bicara yang keluar dari mulutnya hanya merupakan untian mutiara hikmah dan dzikir, tidak pernah berbicara tentang hal hal yang tidak berguna , terkenal sangat dermawan kepada siapa saja yang membutuhkan.
Sepanjang hidupnya beliau gunakan untuk berdakwah dan mensyiarkan agama alloh, tanggal 22 juni 1969 Habib Muhammad bin Husein Al idrus kembali kerahmatulloh dalam usia 71 tahun dan dimakamkam di TPU pegirikan Surabaya . Maqom beliau tak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah di Nusantara terutama sekali ketika acara haul Beliau ribuan orang akan tumpah ruah kejalan.
HABIB JA'FAR BIN SYAIKHON ASSEGAF PASURUAN JAWA TIMUR
Waktu ta’lim di Jawa Timur saya diajak salah seorang guru saya menghadiri Haul Al alamah KH. Hamid di Pasuruan , Kh. Hamid merupakan murid dari seorang ulama min awliyaillah yang bernama Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dari Pasuruan Jawa Timur. Habib ja’far bin syaikhon assegaf terkenal sebagai ulama yang memilki karomah dan memilki penghetahuan yang sangat luas tentang Alquran. Jika beliau sedang membaca alquran maka semua yang mendengarkan akan terkesima dengan bacaannya dan seakan akan hurup hurup yang keluar dari bacaan habib Ja’far berbentuk. Lantunan suaranya yang merdu ketika membacakan alquran membuat yang mendengarkannya tersentuh hatinya. Ini yang dirasakan oleh beberapa Ulama ulama yang pernah sholat berjamaah dengannya. Maka tak heran bila salah seorang Gurunya Habib Muhammad bin Ahmad muhdor dari Bondowoso memberi gelar dengan “Alquran berjalan”
Nama lengkap beliau Habib Ja’far bin Syaikhan bin Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim Assegaf. Lahir di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H. Sejak kecil hinga remaja beliau berguru kepada para ulama ulama masyhur di Hadro maut . Sebagaimana kebanyakan dari para ulama ulama salafus soleh di hadromaut pada waktu itu yang hijrah dan berdakwah keberbagai pelosok , Habib ja’far pun mengikuti pendahulunya untuk hijrah dan berdakwah keluar dari Hadro maut Yaman. Dan beliau menetap pertama kali di kota Surabaya hingga akhirnya beliau menetap di Pasuruan serta mendirikan Majlis ta’lim dan Dzikir yang hingga sekarang masih di teruskan oleh salah seorang cucu beliau bernama Habib Taufiq bin Abdul qodir Assegaf.
Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf terkenal memiliki Karomah yang tampak dan saya pernah dengar dari guru saya bahwa Tasbih besar beliau yang selalu dililitkan di pundaknya berputar dengan sendirinya seperti ada yang menggerakkan. Bahkan pernah suatu ketika ada seorang Tamu yang tidak percaya dengan Hakekat Wali dan dia datang berkunjung ke rumah Habib Ja’far Assegaf dan minta di sediakan buah Korma dan tamu tersebut berpikir mana mungkin di Pasuruan ada Korma, Ketika itu juga Habib Ja’far membuka jendela menjulurkan tangannya keluar jendela dan ternyata di tangan nya sudah ada beberapa buah korma yang masih segar seperti baru di petik dari pohonnya. Bukan main kagetnya Tamu tersebut menyaksikan kejadian luar biasa tersebut. Beliau juga sangat memuliakan setiap tamu yang datang berkunjung kerumahnya dan beliau sendiri yang menuangkan minuman kedalam gelas para tamu , hal ini dilakukan karena memuliakan tamu adalah sebagian dari pada keimanan
Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaf merupakan seorang ulama besar dan waliyullah di kota Pasuruan yang bertarekat Alawiyah, seperti diketahui, tarekat ini dinamakan alawy –selain disandarkan pada pendirinya, Imam Alawi al-Muhajir,- adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai sadat yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan adalah dari para Sayyid.
Sepanjang hidupnya Habib Jafar bin syaikhon assegaf di habiskan untuk berdakwah dan beribadah maka tak heran beliau sangat di cintai masyarakat kkhususnya Pasuruan yang mendapat berkah tersendiri oleh kehadiran Habib Ja’far assegaf , Hari senin Tanggal 07 Februari 1955 atau 14 Jumadil akhir 1374 Habib Ja’far bin syikhon Assegaf kembali ke Rahmatulloh dalam usia yang ke 76 tahun dan di makamkan di masjid jami’ Al anwar Pasuruan dan setiap tahun di bulan Jumadil akhir diadakan haul beliau yang dihadri oleh ribuan Muhibbin dari pelosok daerah.
Syekh Haji Abdul Muhyi
Posted on Saptu, 1 Maret 2008 by Ki Santri
(1650-1730)
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram,
Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat
1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa
Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di
Pamijahan di keramatkan orang.
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah,
adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di
Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali
diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang
berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh,
untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.
Masa studinya di Aceh
dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M).
Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya
ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu
pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah
haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia
meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat
bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma,
termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim
setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk
mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali
mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia
mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama
Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu.
Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung
Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya,
ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim
beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke
Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan
masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa
empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya
menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam
melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu
mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan
masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang
dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan
Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih
bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di
Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut salah satu tradisi
lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati
Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara
Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan
orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi
memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat
menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi
keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian
agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat
sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut
ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang
sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga
bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura,
bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan
mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya
berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari
gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali
kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan
perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia
mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan)
sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid
ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif
menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui
para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.
Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.
Berita tentang ketinggian
ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian
mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi
putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II
(1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang
memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”,
daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram
itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M)
Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan.
Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial
Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899
dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun
dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan
daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi
yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya.
Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan.
Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan
yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru
kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.
Karya tulis Syeikh Haji Abdul
Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin
oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.
Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi.
Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia.
Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi
Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel,
dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk
mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu
ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran
dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu
darinya.
Menurut ajaran “martabat alam
tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang
hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3) Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan,
hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah,
Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul
Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba,
agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah,
semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang
tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).
Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil
(manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas
sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar
sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.
Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.*** (Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.)
Klik disini untuk mengenal ulama besar dan Ulama Mursyid lebih detil
Klik disini untuk mengenal ulama besar dan Ulama Mursyid lebih detil